Artikel

ABSTRAK EVALUASI PILKADA TAHUN 2024

ABSTRAK EVALUASI PILKADA TAHUN 2024 Pelaksanaan Penyelenggaraan tahapan pemungutan suara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali serta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Klungkung Serentak Tahun 2024, pada hari Rabu,  tanggal 27 nopember 2024, KPU Kabupaten Klungkung telah melaksanakan tahapan penyelenggaraan pemilihan, mulai dari pelaksanaan tahapan  : Perencanaan program dan anggaran Penyusunan peraturan penyelenggaraan pemilihan Perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilih Pembentukan PPK , PPS dan KKPS Pemberitahuan  pendaftaran pemantau pemilihan Penyerahan daftar penduduk potensial pemilih Pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih Pemenuhan persyaratan pasangan calon perseorangan Pengumuman pendaftaran pasangan calon Pendaftaran pasangan calon Penelitian persyaratan calon Penetapan pasangan calon Pelaksanaan kampanye Pelaksanaan Pemungutan suara Penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara Penetapan calon terpilih Dengan berakhir nya seluruh tahapan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali, serta Bupati dan Wakil Bupati Klungkung, KPU Provinsi Bali melaksanakan kegiatan Rapat Evaluasi dan Pelaporan Penyelenggaraan Pemilihan Serentak Tahun 2024 di Provinsi Bali, untuk menilai dan mengukur serta mengamati kinerja KPU Kab/Kota se-Bali, mulai  hari Jumat tanggal 10 s/d 12 Januari 2025, bertempat di Hotel Discovery Kartika Plaza, untuk memberikan apresiasi atas dedikasi dan kerja keras KPU Kabupaten Klungkung dalam melaksanakan tugas dan kewajiban dipemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali serta pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Klungkung serentak tahun 2024 , kesemua tahapan Pemilihan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan dan tidak terdapat pihak – pihak yang keberatan terhadap pelaksanaan pemilihan di kabupaten Klungkung dan hasil pemilihan diterima oleh semua pihak. KPU Provinsi Bali sangat mengapresiasi kinerja KPU Kabupaten Klungkung dengan memberikan : Piagam penghargaan ketegori : PENCOCOKAN DAN PENELITIAN ( COKLIT ) DATA PEMILIH PEMILU TERBAIK TAHUN 2024  dengan peringkat 1 Piagam penghargaan katagori : TATA KELOLA PENGADAAN TERBAIK TAHUN ANGGARAN 2024 dengan peringkat 1 Piagam penghargaan katagori : PERENCAANAN DAN KINERJA ANGGARAN TERBAIK TAHUN 2024 dengan peringkat 2 Piagam penghargaan katagori : PENCOCOCKAN DAN PENELITIAN (COKLIT) DATA PEMILIH PEMILIHAN SERENTAK TERBAIK TAHUN 2024 dengan peringkat 2 Piagam penghargaan katagori : MANAJEMEN PENANGANAN PERMASALAHAN HUKUM PEMILIHAN SERENTAK TAHUN 2024 TERBAIK dengan peringkat 2 Piagam penghargaan katagori : PEMUNGUTAN, PENGHITUNGAN DAN REKAPITULASI HASIL PENGHITUNGAN PEROLEHAN SUARA PEMILIHAN SERENTAK TAHUN 2024 TERBAIK dengan peringkat 3 Piagam penghargaan katagori : PEMUNGUTAN, PENGHITUNGAN DAN REKAPITULASI HASIL PENGHITUNGAN PEROLEHAN SUARA PEMILU TAHUN 2024 TERBAIK dengan peringkat 2 EVALUASI merupakan sebuah proses untuk menilai, mengukur atau mengamati sesuatu tugas pekerjaan serta kewajiban untuk menentukan nilai, terhadap apa yang dikerjakan didalam tugas dan kewajiban yang akan berdampak pada aktifitas/kegiatan .                             DIVISI HUKUM DAN PENGAWASAN KPU KABUPATEN KLUNGKUNG

PARTISIPASI PEMILIH DISABILITAS DI KABUPATEN KLUNGKUNG DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2019

PARTISIPASI PEMILIH DISABILITAS DI KABUPATEN KLUNGKUNG DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2019 Oleh (I Gede Suka Astreawan, S.Sos., M.AP.) Anggota KPU Kabupaten Klungkung   Latar Belakang Partisipasi politik masyarakat dalam konteks demokrasi dapat ditunjukkan melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu). Pada hakikatnya pemilihan umum adalah mekanisme untuk memperbaharui kontrak sosial antara pemerintah dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Dalam hal ini peranan pemilihan umum adalah untuk menghasilkan suatu pemerintah atau badan penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, partisipasi politik masyarakat dalam memberikan suara, dapat pula dijadikan sebagai indikator yang menunjukkan kepedulian dan tingkat kesadaran masyarakat dalam berperan menyukseskan kegiatan pemilihan umum. Pada hakikatnya partisipasi seperti dijelaskan Surbakti (2010:140) sebagai keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Hal senada dikemukakan Budiarjo (2009:367) yang mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan cara jalan memilih pemimpin negara secara langsung atau tidak langsung, untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Pendapat lain tentang partisipasi dikemukakan oleh Sholihin, dkk (2014: 496) yang memandang bahwa secara harfiah partisipasi berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada keikutsertaan warga negara dalam proses politik tidak hanya mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh pemimpinnya, melainkan juga ikut memilih dalam penentuan pimpinannnya. Terkait hal tersebut, Bulqiyah dkk (2019) mengemukakan bahwa sesuai dengan konsep partisipasi politik yang mana warga dapat mengambil bagian dalam menentukan penguasa melalui pemilihan sebagai proses untuk pembentukan suatu kebijakan. Bahkan penelitian Mochtar dan Rahman (2014) menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan kegiatan, seperti pemilu, merupakan suatu tuntutan di sebuah negara demokrasi. Salah satu bentuk partisipasi politik masyarakat yang paling nyata dalam konteks demokrasi dapat terlihat dalam kegiatan pemilu serentak tahun 2019. Pemilu serentak dapat dipandang sebagai sistem pemilu yang melangsungkan beberapa pemilihan pada satu waktu yang bersamaan. Pemilu serentak tahun 2019, tepatnya yang dilaksanakan pada 17 April 2019 menjadi tonggak sejarah demokrasi Indonesia. Bukan hanya karena kegiatannya menggambarkan perwujudan kedaulatan rakyat. Akan tetapi pemilu tahun ini juga menjadi pemilu yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia secara serentak pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan secara bersamaan. Pada pemilihan umum serentak Tahun 2019, pemilih disabilitas sebagai warga masyarakat diagendakan untuk memilih lima karakteristik, yaitu: Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPD, anggota DPRRI, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, pemilu serentak tahun 2019 menarik untuk dicermati karena diikuti oleh 20 partai politik, terdiri dari 16 partai politik yang berkompetisi secara nasional, 4 partai politik lokal yang berada di Provinsi aceh Darussalam. Dari 16 partai politik yang berkompetisi secara nasional, terdapat 4 partai politik baru, yaitu Partai Solidaritas Indonesia, Partai Berkarya, Partai Garuda, dan Partai Perindo. Hal ini menjadikan pesta demokrasi Indonesia pada tahun ini memberikan nuansa yang berbeda dari pemilu tahun sebelumnya. Kunci dari keberhasilan penyelenggaraan pemilu serentak terletak pada partisipasi dan peran aktif masyarakat. Rizkiyansah (2010:30) secara tegas menyatakan bahwa parameter paling sederhana untuk melihat kesuksesan pemilihan umum (pemilu) adalah dari angka partisipasi masyarakatnya. Kendati hanya dapat dibaca dari sisi kuantitatif saja, namun bentuk partisipasi datang ke tempat pemungutan suara (TPS) merupakan bagian penting untuk melihat apakah pemilu itu sukses atau tidak. Pernyataan tersebut menyiratkan makna bahwa partisipasi masyarakat ini diperlukan dalam kehidupan politik sebuah negara. Partisipasi pemilih disabilitas ini menarik untuk diteliti. karena pertama, jumlahnya cukup besar yaitu 533 orang dan kedua data dari sumber KPU Kabupaten Klungkung menjelaskan bahwa tingkat partisipasi pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung pada pemilu serentak tahun 2019 hanya mencapai 28%. Angka ini termasuk kategori sangat rendah. Ketiga, perlu dikaji secara mendalam faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi politik pemilih disabilitas. Rendahnya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa masih banyak jumlah nonvoter (biasanya disebut golongan putih atau golput). Hal tersebut telah dicatat dalam penelitian Sodikin dan Nugroho (2013). Menyoroti sikap golput para pemilih ini, Suseno (2019) memandang bahwa golput artinya sama dengan menolak memberikan suara. Setiap kali ada pemilu, kemungkinan golput diperdebatkan. Memang, undangundang pemilu kita, seperti halnya di mayoritas demokrasi di dunia, tak mewajibkan warga negara harus memilih. Padahal tingkat partisipasi dalam pemilu menjadi tolok ukur keberhasilan penyelenggara dalam konteks demokrasi. Dalam menganalisis fenomena penelitian tentang partisipasi politik pemilih disabilitas ini penulis menggunakan teori Handoyo (2013:214). Teori ini menjelaskan tentang dua faktor yang mempengaruhi partisipasi politik, yakni faktor mikro dan faktor makro. Faktor mikro memiliki sifat yang umum yang berasal dari luar individu itu sendiri dan pengaruhnya yang secara tidak langsung. Sedangkan faktor makro memiliki sifat yang lebih terperinci berasal dari individu itu sendiri serta memiliki pengaruh yang langsung.   Metode Penelitian Untuk menjelaskan tentang partisipasi politik pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung pada pemilu serentak tahun 2019 menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dengan metode ini peneliti berusaha untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan membangun makna tentang fenomena pemilu yang terjadi di Kabupaten Klungkung. Sugiyono (2012:21) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme atau paradigma interpretive, suatu realitas atau objek tidak dapat dilihat secara parsial dan dipecah ke dalam beberapa variabel. Penelitian kualitatif memandang objek sebagai sesuatu yang utuh, dinamis, hasil konstruksi pemikiran dan interpretasi terhadap gejala yang diamati, serta utuh karena setiap aspek dari objek itu mempunyai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pendapat tersebut mengandung makna bahwa metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif adalah penelitian berupa pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dari gejala yang diamati atau fenomena yang diteliti. Dalam hal ini penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Fenomena yang diteliti yaitu partisipasi pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung pada pemilu serentak tahun 2019 dideskripsikan berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti melalui informan. Selain itu alasan yang mendasar digunakannya metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif ini adalah: (1) masalah penelitian sudah tergambarkan; (2) untuk memahami makna dibalik data yang tampak; (3) untuk memahami persepsi masyarakat; (4) untuk memahami dan mengkaji aktivitas Individu dalam partisipasi politik; (5) untuk mengkaji factor-faktor yang mendorong pemilih disabilitas untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemilu tahun 2019. (6) untuk memastikan kebenaran data. Dengan alasan yang dipaparkan di atas diharapkan peneliti mendapatkan informasi yang tajam, akurat, dan mendalam tentang partisipasi politik pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung pada pemilu serentak tahun 2019 dan faktor-faktor yang mendorong pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung berpartisipasi dalam kegiatan pemilu serentak tahun 2019. Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah para pemilih disabilitas yang berada di Kabupaten Klungkung dan tersebar di 4 Kecamatan dan Ketua serta Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Klungkung. Sumber data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen, data-data tertulis baik yang diperoleh dari informan ataupun dari media massa, media sosial, maupun media elektronik. Data-data yang telah diperoleh dari informan dianalisis dengan teknik triangulasi, yaitu menghubungkan data dan informasi dari satu sumber informasi dengan sumber informasi lainnya untuk diinterpretasikan terkait dengan masalah yang diteliti. Berikutnya hasil validasi dari triangulasi ini dijadikan dasar dalam penarikan simpulan penelitian.   Hasil Dan Pembahasan Partisipasi Politik Pemilih Disabilitas pada Pemilu Serentak Tahun 2019 Proses kegiatan pemilu serentak tahun 2019 di Kabupaten Klungkung telah berlangsung aman, lancar, dan sukses. Kesuksesan kegiatan pesta demokrasi ini ditunjukkan dengan beberapa indikator. Salah satunya adalah ditentukan oleh bagaimana warga masyarakat melakukan kegiatan partisipasi politik dalam kegiatan pemilu serentak di Kabupaten Klungkung. Gambaran yang terjadi di Kabupaten Klungkung, pemilu serentak tahun 2019 memberikan warna dan dinamika politik tersendiri. Jika dihubungkan dengan proses demokrasi, partisipasi politik berpengaruh terhadap legitimasi masyarakat terhadap jalannya suatu pemerintahan. Dengan demikian pemilu serentak merupakan hal penting dan strategis dalam konteks demokrasi di negara kita. Partisipasi politik masyarakat dalam pemilu dapat dipandang sebagai kontrol masyarakat terhadap suatu pemerintahan. Kontrol yang diberikan beragam tergantung dengan tingkat partisipasi politik masing-masing. Selain sebagai inti dari demokrasi, partisipasi politik juga berkaitan erat dengan pemenuhan hak-hak politik warga Negara. Wujud dari pemenuhan hak-hak politik adalah adanya kebebasan bagi setiap warga untuk menyatakan pendapat dan berkumpul. Seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 28, yaitu “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa salah satu parameter yang paling sederhana untuk dapat melihat sukses atau tidaknya kegiatan pemilu serentak di daerah dapat dilihat dari angka partisipasi masyarakatnya. Meskipun hal ini hanya dilihat dari aspek kuantitatifnya saja, akan tetapi bentuk partisipasi warga masyarakat untuk datang ke tempat pemungutan suara merupakan hal yang menjadi penentu untuk dapat melihat bahwa kegiatan pemilu di daerah ini sukses atau tidak. Demikian pula dengan kehadiran para pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada saat pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019. Untuk memperjelas gambaran tingkat partisipasi pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung pada pemilu serentak tahun 2019. Berikut akan dijelaskan data pemilih disabilitas yang menggunakan hak pilihnya di seluruh tempat pemungutan suara (TPS) Kabupaten Klungkung seperti tertuang dalam tabel sebagai berikut:         Tabel Data Pemilih dan Pengguna Hak Pilih Disabilitas   No   Dapil   Kecamatan Data Pemilih Disabilitas Pengguna Hak Pilih Disabilitas L P Jml L P Jml 1 Klungkung 1 Klungkung 73 57 130 33 32 65 2 Klungkung 2 Dawan 40 33 73 6 8 14 3 Klungkung 3 Nusa Penida 76 21 97 23 5 28 4 Klungkung 4 Banjarangkan 141 92 233 29 58 42 Jumlah 330 203 533 91 103 159 Sumber: KPU Kabupaten Klungkung Berdasarkan data yang disajikan pada tabel di atas diperoleh gambaran tingkat partisipasi politik pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung pada pemilu serentak tahun 2019. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Klungkung diperoleh informasi bahwa daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah Kabupaten Klungkung berjumlah 533 pemilih. Akan tetapi setelah dilakukan pemungutan suara diperoleh gambaran bahwa pemilih disabilitas yang menggunakan hak suaranya hanya 159 pemilih dengan persentase 28%. Hasil ini memberikan gambaran bahwa partisipasi pemilih disabilitas pada pemilu serentak tahun 2019 termasuk kategori sangat rendah. Meskipun kategori angka partisipasi pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung pada pemilu serentak tahun 2019 termasuk kategori sangat rendah. Faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi pemilih disabilitas menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya sebagai bentuk partisipasinya dalam kegiatan politik tanah air yaitu dalam pemilu serentak tahun 2019. Salah satu parameter yang menjadi penentu sukses tidaknya penyelenggaraan pesta demokrasi dalam bentuk pemilihan umum serentak adalah dapat dilihat dari angka partisipasi masyarakat. Kehadiran para pemilih disabilitas sebagai warga masyarakat di tempat pemungutan suara (TPS) menunjukkan tingkat partisipasi yang baik. Salah satu bentuk kepedulian warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden serta memilih calon anggota legislatif adalah dengan memberikan memberikan hak suara. Demikian hal nya pula dengan para pemilih disabilitas yang pada tahun 2019 mengikuti pemilu serentak. Pemilihan umum serentak tahun 2019 merupakan langkah terbaik dalam sistem dan tatanan demokrasi. Hal ini dapat dilihat dari hakikat pemilihan umum yang pada intinya menggambarkan kedaulatan rakyat dengan cara melakukan pemilihan secara langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden serta memilih calon anggota legislatif. Melalui pemberian suara, rakyat berhak menentukan siapa calon pemimpin yang akan dipilihnya untuk mengemban amanah hasil pemilihan umum serentak yang dilaksanakan untuk pertama kalinya di Indonesia. Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa tingkat partisipasi pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung pada pemilu serentak tahun 2019 hanya mencapai 28%. dan dikategorikan sangat rendah. Setelah dilakukan analisis dapat dinyatakan bahwa rendahnya partisipasi politik pemilih disabilitas ini disebabkan oleh beberapa faktor. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis kepada sejumlah informan yang menjadi sumber data penelitian diperoleh gambaran tentang rendahnya tingkat partisipasi pemilih disabilitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung pada pemilu serentak tahun 2019 menjadi temuan-temuan sebagai berikut: Pertama, aspek psikologi merupakan hal yang berkaitan dengan aspek kejiwaan dan tingkah laku seseorang. Dalam kaitan hal ini secara khusus berkenaan dengan aspek psikologi yang dialami pemilih disabilitas menjadi salah satu penghambat angka partisipasi dalam pemilu. Pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu serentak tahun 2019 diantaranya karena tumbuh rasa kurang percaya diri, rendah diri sehingga tidak ada keberanian untuk melangkah ke tempat pemungutan Suara. Ketidakpercayaan diri yang disandang oleh pemilih disabilitas. Dalam konteks sosial masih ada anggapan bahwa pemilih disabilitas dianggap sebagai orang yang memiliki kekurangan secara fisik, dianggap sebagai orang cacat. Hal ini menjadi kendala bagi penyelenggara pemilu di daerah dalam meningkatkan partisipasi disabilitas karena pihak keluarga dari pemilih disabilitas sering menutup diri karena merasa malu apabila dalam keluarganya terdapat penyandang disabilitas. Aspek psikologis lainnya adalah faktor mental yang cenderung menganggap dirinya memiliki kekurangan menyebabkan dirinya tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat banyak dalam kegiatan-kegiatan tententu, seperti dalam kegiatan pemilihan umum dan bersikap tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu serentak tahun 2019. Sikap apatis pemilih disabilitas ini merupakan dampak buruk dari aspek psikologis yang perlu mendapatkan perhatian penyelenggara pemilihan umum agar pada kesempatan pemilu berikutnya menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara. Kedua, pendidikan politik yang rendah menjadi penyebab lain dari para pemilih disabilitas yang tidak menggunakan hak pilihnya. Hal ini terjadi karena tingkat pemahaman yang rendah terhadap kegiatan politik menjadi penyebab utama. Pendidikan politik merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh semua pemilih yang sudah memenuhi syarat menurut Undang-undang tanpa membedakan status dan golongannnya. Demikian hal nya pula dengan penyandang disabilitas idealnya difasilitasi untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara memperoleh informasi yang berkaitan dengan kegiatan politik. Hasil wawancara dengan informan diperoleh gambaran bahwa penyandang disabilitas kurang secara khusus mendapatkan pendidikan politik. Idealnya, pendidikan politik harus diberikan secara khusus kepada para pemilih disabilitas dengan harapan tingkat partisipasi politik pemilih disabilitas dalam pemilihan umum meningkat. Ketiga, faktor sarana prasarana yang kurang memadai bagi pemilih disabilitas. Bagi pemilih disabilitas, faktor sarana dan prasarana menjadi hal yang dipertimbangkan dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu serentak tahun 2019. Kendala-kendala dari aspek sarana yang menghampat tingkat partisipasi politik pemilih disabilitas, di antaranya adalah masalah transportasi. kursi roda bagi pemilih yang tuna daksa, dan braille bagi penyandang tuna netra. Khusus masalah transportasi berkaitan juga dengan aspek waktu yang tidak memungkinkan petugas untuk menjemput pemilih disabilitas menuju lokasi tempat pemungutan suara (TPS). Dengan demikian faktor sarana menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab rendahnya angka partisipasi pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung. Setelah penulis melakukan analisis berdasarkan deskripsi temuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung pada pemilu serentak tahun 2019 diperoleh gambaran bahwa partisipasi pemilih disabilitas sangat dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal dari individu pemilih disabilitas. Dorongan faktor internal ditunjukkan melalui partisipasi politik yang dipengaruhi oleh adanya faktor aspek psikologis dan pendidikan politik dari pemilih disabilitas. Sedangkan dorongan faktor eksternal ditunjukkan melalui partisipasi politik yang dipengaruhi oleh adanya faktor sarana dan prasarana yang kurang memadai bagi pemilih disabilitas, kurangnya petugas yang menangani khusus disabilitas, tidak ada sosialisasi pemilu secara khusus bagi pemilih disabilitas. Hasil analisis di atas sekaligus menguatkan teori yang menyatakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi partisipasi politik, yakni faktor mikro dan makro. Faktor mikro memiliki sifat yang umum yang berasal dari luar individu itu sendiri dan pengaruhnya yang secara tidak langsung. Sedangkan faktor makro memiliki sifat yang lebih terperinci berasal dari individu itu sendiri serta memiliki pengaruh yang langsung. Dalam penelitian ini hal tersebut terefleksikan dari faktor yang mempengaruhi pemilih disabilitas di Kabupaten Klungkung pada pemilu serentak tahun 2019, yaitu aspek psikologis, rendahnya pendidikan politik yang merupakan faktor internal (makro), dan sarana prasarana yang kurang memadai bagi pemilih disabilitas, kurangnya petugas yang menangani khusus disabilitas, tidak ada sosialisasi pemilu secara khusus bagi pemilih disabilitas yang merupakan faktor eksternal (mikro).   Kesimpulan Rendahnya tingkat partisipasi politik pemilih disabilitas disebabkan karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri pemilih itu sendiri yang dapat mempengaruhi keikutsertaannya dalam proses penyelenggaraan pemilu serentak terutama sekali dalam proses pemberian suara. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi politik pemilih yang berasal dari luar luar diri pemilih disabilitas itu sendiri. Untuk meningkatkan tingkat partisipasi pemilih disabilitas dalam pemilu serentak perlu dilakukan beberapa strategi, di antaranya melakukan sosialisasi khusus bagi pemilih disabilitas, meningkatkan pendidikan politik pemilih disabilitas, peningkatan sarana prasarana khusus pemilih disabilitas, dan dana alokasi khusus disabilitas. Dengan model penguatan dan peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu serentak diharapkan tingkat partisipasi politik pemilih disabilitas meningkat sesuai dengan harapan penyelenggara pemilu dalam konteks demokrasi Indonesia. Daftar Pustaka Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Budiarjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bulqiyah, Hasanul dkk. 2019. Pemilihan Kepala Desa dan Partisipasi Masyarakat Marjinal: Studi Kasus di Pulau Bawean, Indonesia. Jurnal Wacana Politik, Vol 4, No 1, Edisi Maret. Handoyo, Eko. 2013. Sosiologi Politik. Semarang: Penerbit Ombak. Mokhtar, Khairiah Salwa dan Nur Hairani Abd Rahman. 2014. Political Conflict and Local Goverment Election Issues in Malaysia. Jurnal of African and Asian Local Goverment Studies Vol 3 No.2. Universiti Sains Malaysia. Sodikin, Amir and Wisnu Nugroho. 2013. Demokrasi Era Digital: Mengejar Generasi Pedas, Lekas, dan Bergegas, in Kompas Daily, edition Friday, October 25 th, p.54. Solihin, Rio dkk. 2014. Jurnal Administrative Reform, vol.2 no.4, Edisi Desember. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Penerbit Alfabeta. Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo. Suseno, Franz Magnis. 2019. Golput. Kompas, hlm 6. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Menyitir Kolektif Kolegial

Menyitir Kolektif Kolegial Istilah kolektif kolegial bukan barang baru bagi kalangan birokrasi dan lembaga serta organisasi. Meski demikian tidak serta merta di dalam praktek keseharian telah dilaksanakan atau diterjemahkan dengan benar. Terkadang dalam prakteknya sering keliru, atau salah, entah salah yang disengaja karena beberapa faktor seperti faktor sikap arogan dan sikap egoistis serta individualistis yang muaranya adalah menang sendiri atau karena memang belum paham.Tidak jarang dalam praktek terjadi saling lempar tanggungjawab antara rekan satu dengan lainnya sehingga pekerjaan jadi terbengkalai. Gede Suka Astreawan, anggota KPU Klungkung asal Desa Bungbungan, Banjarangkan ini mencoba menyitir istilah kolektif kolegial. Astreawan yang membidangi Divisi Teknis Penyelenggaraan KPU Klungkung ini mengutarakan bahwa kepemimpinan kolektif kolegial merupakan sistem kepemimpinan yang melibatkan beberapa orang pimpinan dalam mengeluarkan keputusan atau kebijakan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat atau pemungutan suara dengan mengedepankan semangat kebersamaan di dalam rapat pleno. Dijelaskannya dimana dalam kolektif kolegial masing-masing pimpinan itu memiliki hak suara yang sama dalam pengambilan kebijakan. Sehingga tak ada keputusan-keputusan yang diambil sepihak oleh satu pimpinan karena semua keputusan harus diputuskan secara bersama- sama dan semua pimpinan bertanggungjawab. Jebolan Program Pascasarjana UNR ini menambahkan bahwa kolektif kolegial bukan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab yang sudah dituangkan di dalam peraturan harus dikerjakan terus menerus secara bersama-sama." Tidak demikian, jika sudah menjadi tugas dan tanggung jawab sendiri dikerjakan oleh rekan lain itu namanya ditolong alias dibantu dan jika tugas dan kewenangan sendiri dikasi ke rekan lain namanya minta tolong", jelas laki-laki yang sangat kritis dan bicaranya berstruktur serta sistematis dengan gaya penyajian yang menarik perhatian. Laki-laki yang lama tinggal di Buleleng ini, sering hadir membantu dalam pemecahan masalah atau kebuntuan-kebuntuan dalam memahami regulasi dan tugas-tugas di KPU Klungkung. (sum)

Andre Sainte Lague dan Kursi Parlemen

Kiranya banyak kalangan tahu kalau Pemilu 2019 menggunakan metode konversi perolehan suara partai politik ke kursi parlemen menggunakan metodenya Andre Sainte Lague (seorang ahli ilmu matematika asal Prancis ).Metode inipun dipayungi UU Pemilu no.7 tahun 2017.Dimana pada pasal 415 ayat 2 berbunyi bahwa dalam hal penghitungan perolehan kursi DPR, suara sah setiap partai politik yang menenuhi ambang batas 4 persen sebagaimana dalam pasal 414 ayat 1 dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3:5:7 dan seterusnya. Berikutnya ayat 3 pasal 415 mengatakan dalam hal penghitungan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, suara sah setiap partai politik dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan dengan bilangan ganjil 3:5:7 dan seterusnya. PKPU no.5 tahun 2019 tentang penetapan pasangan calon terpilih, penetapan perolehan kursi dan penetapan calon terpilih dalam pemilihan umum mengatur lebih detail mengenai pembagian kursi dimaksud. Tentu yang dibagi dengan bilangan pembagi 1:3:57 dst itu adalah suara sah setiap parpol seperti bunyi padal 8 huruf b. Bila hasil bagi menghasilkan angka pecahan, angka pecahan tersebut tetap diperhitungkan sebagai dua angka desimal.Lalu dalam hal penentuan satu kursi terakhir terdapat dua parpol memperoleh suara hasil bagi yang sama maka satu alokasi kursi terakhir ini diberikan kepada parpol dengan persebaran perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.Sedangkan ketika berdasarkan persebaran wilayah tadi masih sama, satu kursi terakhir diberikan kepada parpol yang lebih banyak suaranya pada lebih banyak TPS.Metode konversi perolehan suara ke  kursi parlemen oleh Sainte Lague konon bakal diberlakukan kembali pada Pemilu tahun 2024.Hal itu sempat diungkapkan Ketua KPU Bal, Dewa Agung Gede Lidartawan pada acara  sosialisasi regulasi Pemilu di Klungkung belum lama ini.Nyaris tiada politiisi dan kalangan yang memasalahkan digunakannya metode Sainte Lague itu.Karena itu bila pemerintah dan KPU masih memayungi alias mengadopsi metode tersebut tentu karena metode itu mengandung prinsip Pemilu yang adil selain prinsip- prinsip lainnya.Apakah selamanya metode Sainte Lague diberlakukan, mengenai itu kembalik kepada pemerintah.Tetapi pemerintah dalam membuat aturan tentu mendengar asfirasi publik karena produknya juga untuk kepentingan publik. Sekilas mengenai contoh pembagian kursi parpol pada Dapil yang memiliki jatah 5 kursi.Misalnya parpol: A dengan 6.000 suara B dengan 5.000 suara C dengan 4.5.00 suara D dengan 3.000 suara dan  E dengan 2.500 suara. Maka kursi pertama diperoleh parpol A berikutnya kursi ke dua diraih parpol B.Kalau demikian peta perolehan suaranya, semua parpol mendapat bagian masing- masing satu kursi parlemen.( sumerta)

Kapan Kaum Difabel Masuk Kekuasaan?

Kapan Kaum Difabel Masuk Kekuasaan?  (oleh I Wayan Sumerta Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kab.Klungkung Bali)   Kaum penyandang disabilitas (difabel) telah diberikan hak politik oleh pemerintah. Kebebasan individu dalam konteks demokrasi mengakui keutamaan moral dari seseorang individu dan bahwa semua individu memiliki hak mendasar tertentu. Tujuan utama demokrasi adalah perlindungan hak kebebasan individu dalam kehidupan sehari- hari. Dengan kata lain setiap orang berhak untuk berpartisifasi dalam pemerintahan negara, baik secara langsung maupun melalui wakil- wakilnya yang terpilih secara bebas. Setiap orang memperoleh hak atas akses yang sama untuk memperoleh pelayanan umum di negaranya sesuai bunyi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pemerintah Indonesia telah sangat jelas memberikan hak politik yang sama bagi kaum difabel.bHak politik bagi mereka tertuang dalam UU no.8 tahun 2016 pasal 13. Yakni hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Menyalurkan aspirasi politik baik secara tertulis maupun lisan.Memilih partai politik dan/ indidividu yang menjadi peserta dalam Pemilu.Serta memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilu, pemilihan gubernur wakil gubernur dan bupati/ wali kota. Hak politik disabilitas malah dipertegas lagi oleh UU no.7 tahun 2017 tentang Pemilu. Meski demikian fakta mengatakan tidak banyak bahkan nyaris tak ada kaum difabel yang masuk di ruang kekuasaan. Adakah kaum difabel menjadi bupati/ wakil bupati.Adakah kaum difabel menjadi wakil rakyat. Adakah kaum difabel menjadi kepala desa atau jabatan lebih kecil dari itu. Mengapa demikian kondisinya.Apakah mereka lebih awal berbekal pesimisme untuk berkiprah di ranah itu ataukah karena faktor eksternal seperti adanya hujatan atau hinaan terhadap kaum difabel ketika menduduki kursi kekuasaan? Jawabannya bisa saja ya bisa juga tidak. Sebab saat di negara kita ada pejabat yang cacat fisik bahkan cacat ringan mereka tak henti- henti dijadikan bahan pembicaraan.Kini Indonesia telah berumur 2.021 tahun masehi, namun kemerdekaan bagi kaum difabel masih diwarnai godaan- godaan dari oknum, meski UU.no. 8 tahun 2016 telah memberikan kebebasan buat mereka untuk menggunakan hak politiknya secara luas.Sementara ada dugaan juga bahwa kaum difabel memiliki kerendahan diri untuk ambil bagian dalam politik. Kalau itu yang terjadi maka kaum difabel akan menurunkan generasi pengecut dan mewariskan masa depan suram kepada anak cucunya. Data BPS menunjukkan tingginya jumlah penyandang disabilitas di Indonesia. Dari jumlah penduduk sekitar 247 juta jiwa lebih dari 190 juta jiwa jumlah pemilih diperkirakan 27 juta yang penyandang disabilitas.Mereka ada cacat fisik, cacat intelektual, cacat mental dan cacat sensorik. Namun mesti diakui di Indonesia telah ada kemajuan bagi kaum perempuan untuk menduduki jabatan politik. Tak sedikit kaum perempuan menjadi camat, bupati, gubernur bahkan sampai presiden ( presiden Megawati Soekarno Putri). Karier perempuan semakin terlihat. Tidak mudah ditebak seperti tempo dulu kalau perempuan ditempatkan sebagai ibu dapur.Kini tidak. Perempuan sudah ikut dalam pengambil keputusan baik dalam unit organisasi kecil sampai dengan tingkat pusat. Pemerintah melalui UU Pemilu no.7 tajun 2017 memberikan quota perempuan 30 persen untuk di partai politik dan calon legislatif.Bagi parpol yang tidak memenuhi quota itu pen-calegan-pun bakal gagal. Ayo kaum disabilitas lari cepat mengejar ketertinggalan. Kapan lagi? (Sumerta)

Populer

Belum ada data.